Optimalisasi Pajak untuk Beasiswa: Upaya Memajukan Bangsa melalui Pendidikan yang Merata

Masiroh
4 min readJun 30, 2024

--

“Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan pedihnya kebodohan”

— Imam Syafi’i

Kalimat dari Imam Syafi’i di atas mungkin menjadi kalimat yang telah berhasil membakar semangat jutaan pelajar untuk terus berjuang menimba ilmu. Kalimat tersebut juga seolah menjadi mantra bagi siapa pun baik bagi yang tengah berjuang untuk menyelesaikan pendidikan maupun bagi mereka yang tengah berjuang untuk meraih pendidikan. Lantas, ketika semangat dalam mengejar pendidikan telah tumbuh, apakah dengan begitu jalan menuju pendidikan akan senantiasa mudah seperti yang dibayangkan? Nyatanya tidak, di Indonesia misalnya.

Sebagai sebuah negara yang besar dengan jumlah populasi mencapai lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia terlihat masih perlu berjuang keras untuk mencapai pemerataan pendidikan bagi semua kalangan. Ketika melihat data Angka Partisipasi Sekolah atau APS di lembaga pendidikan dasar tingkat SD — SMA, tingkat partisipasi masyarakat dalam mengenyam pendidikan dasar memang tercatat sudah cukup tinggi. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa dalam kurun waktu antara 2021–2023, persentase rata-rata masyarakat di total 38 provinsi yang mengenyam pendidikan dasar tingkat SD — SMA terbilang fluktuatif dan masih berada di rentang 73,09–99,76 persen. Akan tetapi, angka tersebut secara konstan menurun seiring dengan kenaikan tingkat strata pendidikan. Penurunan angka partisipasi di tingkat SD — SMA memang tidak terlalu signifikan, tetapi angka partisipasi pendidikan tersebut kemudian menurun drastis di tingkat pendidikan tinggi yang rata-ratanya hanya berkisar di rentang 25,99–28,85 persen (Badan Pusat Statistik, 2023). Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam mengenyam pendidikan tinggi tersebut kemudian membawa Indonesia berada di peringkat 44 dunia dalam daftar negara dengan persentase lulusan pendidikan tinggi terbanyak di 2023 (Yonatan, 2023). Lalu, apa yang membuat pendidikan terutama pendidikan tinggi di Indonesia terasa begitu sulit diakses sehingga angka partisipasi masyarakat dalam mengenyam pendidikan tinggi begitu rendah?

Rendahnya angka partisipasi pendidikan tinggi di tengah masyarakat Indonesia sendiri dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Salah satu faktor yang paling banyak ditemukan adalah faktor ekonomi. Khoiriyah et al. (2019) mengungkapkan bahwa faktor terbesar yang menyebabkan pelajar SMA memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi adalah faktor ekonomi. Keterbatasan ekonomi di sebagian kalangan masyarakat membuat para pelajar lulusan sekolah menengah baik pertama maupun atas mau tidak mau harus memilih untuk langsung bekerja sesegera mungkin setelah mereka menyelesaikan pendidikan tingkat dasar. Senada dengan pernyataan tersebut, Huba et al. (2014) juga menemukan bahwa ekonomi keluarga yang pas-pasan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pelajar SMA enggan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal, tidak jarang masih banyak di antara para pelajar tersebut yang sebenarnya memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan pendidikannya hingga ke perguruan tinggi. Namun apa daya, keterbatasan ekonomi membuat mereka harus mengubur dalam-dalam impian besar mereka.

Terkuburnya asa dan cita para pelajar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi akibat keterbatasan ekonomi tidak boleh terus berlanjut lantaran dalam proses membangun sebuah negara yang maju, diperlukan sumber daya manusia yang kompeten, terampil, dan terlatih. Indonesia sendiri juga telah berkomitmen untuk senantiasa mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang telah tertuang di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Oleh karena itu, untuk menunaikan kewajibannya tersebut, pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek terus berupaya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan terkait keterbatasan ekonomi yang menghambat para pelajar untuk melanjutkan pendidikan.

Salah satu cara yang dilakukan oleh Kemendikburistek dalam mengupayakan pemerataan pendidikan bagi masyarakat adalah dengan memberikan beasiswa pendidikan, salah satunya adalah Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK). Di sinilah kemudian peran pajak sangat diperlukan. Melalui pemberian beasiswa seperti KIPK, Kemendibudristek mengalokasikan anggaran yang bersumber dari pajak masyarakat untuk diberikan kepada para pelajar di seluruh Indonesia yang memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tetapi terkendala kondisi ekonomi. Lalu, bagaimana pajak kemudian berubah menjadi dana beasiswa pendidikan? Pertama-tama, pajak yang menjadi kewajiban masyarakat akan dipungut melalui tata cara serta mekanisme yang telah diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak atau DJP yang merupakan bagian dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Ferdian, 2023). Kemudian, uang pajak yang telah terkumpul dimasukkan ke dalam kas negara. Selanjutnya, Kementerian Keuangan membuat rincian rencana alokasi anggaran dari kas negara untuk dialokasikan ke seluruh lembaga dan kementerian dalam bentuk Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Kemudian, anggaran yang telah dirincikan dalam RAPBN disahkan menjadi APBN dan disalurkan ke tiap-tiap kementerian dan lembaga negara untuk dikelola dan dialokasikan untuk membiayai program kerja masing-masing, contohnya adalah Kemendikbudristek yang mengalokasikan sebagian anggaran yang didapatkan untuk mendanai program beasiswa KIPK.

Program beasiswa seperti KIPK sendiri memiliki beragam manfaat yang luar biasa. Bahkan, KIPK sebagai sebuah bantuan biaya pendidikan yang berasal dari pajak masyarakat dapat dikatakan menjadi salah satu penyelamat hidup jutaan warga negara. Hal tersebut karena pada dasarnya, pendidikan merupakan salah satu cara bagi masyarakat untuk mengentaskan diri dari jerat kemiskinan. Melalui KIPK, seluruh lapisan masyarakat dapat memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan ilmu, wawasan, serta keterampilan baru. Melalui KIPK pula, anak-anak dari keluarga miskin di pinggiran kota hingga desa terpencil dapat menjadi sarjana. Selain itu, KIPK juga dapat membawa efek domino yang besar bagi perkembangan sumber daya manusia di Indonesia ketika para penerima beasiswa KIPK turut andil dalam mengabdikan dirinya untuk mendidik serta memberdayakan masyarakat sekitar dengan wawasan yang dimilikinya. Begitu besarnya manfaat yang diterima dari KIPK baik bagi penerima maupun masyarakat di sekitarnya menunjukkan bahwa pajak yang senantiasa masyarakat bayarkan akan kembali kepada masyarakat itu sendiri bahkan dalam bentuk yang lebih dari sekadar uang. Melalui pajak pula, baik secara langsung maupun tidak langsung masyarakat dapat turut andil dalam proses pembangunan negara yang maju dan sejahtera.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. (2023). Angka Partisipasi sekolah (APS) Menurut Provinsi, 2021–2023. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MzAxIzI=/angka-partisipasi-sekolah---a-p-s--.html

Ferdian, T. (2023). Uang Pajak Dibawa Ke Mana?. https://sippn.menpan.go.id/berita/48732/kantor-pelayanan-pajak-pratama-semarang-selatan/uang-pajak-dibawa-ke-mana

Huba, R. K., Bahari, Y., & Rustiyarso. (2014). Analisis Faktor Penyebab Anak Tidak Melanjutkan Pendidikan ke Jenjang Perguruan Tinggi pada Keluarga Petani. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Khatulistiwa (JPPK), 3(1), 1–14.

Khoiriyah, M., Fauziah, M. H., Zahra, S. A., & Majid, N. W. A. (2019). Pengaruh Faktor Ekonomi terhadap Angka Putus Sekolah di Kalangan Mahasiswa Indonesia. INTEGRATED (Journal of Information Technology and Vocational Education), 3(1), 27–30. https://doi.org/10.17509/integrated.v3i1.32715

Yonatan, A. Z. (2023). Negara dengan Persentase Lulusan Pendidikan Tinggi Terbanyak 2023. https://data.goodstats.id/statistic/negara-dengan-persentase-lulusan-pendidikan-tinggi-terbanyak-2023-NyP7X

--

--